Dihancurkan oleh mertua sendiri! Nabila kehilangan segalanya—anak, suami, bahkan atap di atas kepalanya—karena ambisi dan ego ibu mertuanya. Lebih menyakitkan, Arsya, sang suami, hanya diam dan menurut tanpa pembelaan. Terbuang dari keluarga suaminya, Nabila justru menemukan jalan tak terduga yang mengantarkannya pada kehidupan penuh kejutan dan pembalasan yang dramatis!
Lihat lebih banyak“Mas, uang kita yang dua ratus ribu mana?”
“Tadi dipinjam sama ibu.” “Amira panas, Mas. Panasnya sangat tinggi. Kenapa kamu kasih? Mas, tolong minta lagi uang itu sama ibu. Kita harus membawa Amira ke dokter. Aku takut terjadi apa-apa sama anak kita. Kita tidak punya uang lagi selain uang itu.” Arsya yang tengah meminum kopi, segera berdiri dan mendekati Nabila, istrinya yang tengah menggendong Amira, putri mereka yang baru berusia 2 bulan. “Hanya demam biasa, coba kamu kompres saja Amira, nanti juga dia bakalan sembuh,” imbuh Arsya. Nabila menggeleng pelan, jelas Amira membutuhkan penanganan dokter. Suhu tubuh Amira sudah berada di atas normal. Membuat Nabila bersikeras ingin membawanya ke dokter. “Tidak, Mas, Amira butuh pertolongan dokter. Kita tidak bisa membiarkannya seperti ini. Pokoknya kamu minta lagi uang itu dari ibu. Aku tidak mau tahu, Amira harus dibawa ke dokter,” sahut Nabila. Arsya kemudian pergi ke dapur, kemudian kembali dengan membawa rantang berisi air dan juga handuk kecil. “Sini, biar aku saja yang urus Amira. Anak hanya demam biasa, kamu malah sibuk ingin aku meminta uang itu lagi. Lagi pula, ibuku lebih membutuhkan uang itu.” Arsya kemudian mengompres dahi Amira dengan kain handuk yang telah dibasahi itu. Bukannya tangisannya mereda, tangisan Amira malah semakin kencang. Wajahnya pun semakin memerah seperti menahan sakit. Nabila kecewa dengan sikap Arsya yang menganggap hal ini sepele. Lantas ia keluar dari kamar, ia mencari ibu mertuanya untuk meminta uang itu kembali. “Bu, apa ada di dalam?” Nabila mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. “Bu, ada yang ingin aku bicarakan sama Ibu. Tolong buka pintunya!” Lama Nabila berdiri di depan pintu kamar ibu mertuanya. Namun, pintu itu tak kunjung terbuka. Setelah memastikan ibu mertuanya tidak ada di kamar, Nabila pun segera keluar untuk mencarinya. Amira yang baru saja mengenakan alas kaki. Ia melihat ibu mertuanya bersama dengan Weni yang menggendong anaknya, istri dari almarhum adik Arsya sedang berjalan sambil menenteng kantong kresek besar berisi 2 kotak susu formula berukuran besar. Tampaknya mereka habis berbelanja dari minimarket. “Bu, maaf kalau aku lancang. Bu, aku mau meminta kembali uang yang Ibu pinjam dari mas Arsya. Amira demam, dia harus secepatnya dibawa ke dokter,” ujar Nabila. “Uang? Kenapa kamu mau memintanya kembali? Lagi pula Ibu hanya meminjam. Nanti juga dibalikin, tapi tidak sekarang. Amira hanya demam, kan? Cukup dikompres saja nanti juga turun panasnya. Sudahlah, Nabila, Ibu capek Ibu habis membeli susu buat Bella. Lagi pula, uang itu Ibu gunakan untuk membeli susu formula,” sahut bu Retno. Nabila terbelalak, ia tidak menyangka jika ibu mertuanya tega berbicara seperti itu. Situasi genting seperti ini, dia masih saja bersikap pilih kasih. Padahal, Amira juga adalah cucu kandungnya. Namun, kasih sayang bu Retno lebih condong terhadap Bella. “Bu, asi Weni lancar, tidak perlu membeli susu formula. Kenapa Ibu dan Weni selalu memaksakan kehendak jika keuangan kita sedang tidak baik-baik saja?” Nabila sungguh tidak habis pikir. Di mana pikiran keluarga itu? Sehingga mereka abai saat salah satu anggota keluarganya tengah menahan sakit. Bu Retno tidak ingin perdebatan ini semakin ke mana-mana. Ia pun segera masuk menyusul Weni ke dalam rumah. Tangisan Amira semakin menjadi. Hal itu membuat Nabila semakin khawatir. Lantas ia segera berlari ke dalam kamarnya. Ia melihat Amira dibaringkan di atas kasur. Namun, Arsya dengan santainya ia tertidur pulas di samping Amira, tanpa terganggu sedikit pun oleh tangisan Amira. “Bangun, Mas. Kita harus membawa Amira ke dokter. Kita tidak bisa diam saja seperti ini. Kamu sebagai Ayah, jangan santai seperti ini. Kita pinjam uang ke tetangga atau siapa saja. Yang penting anak kita harus mendapatkan penanganan dari dokter,” ujar Nabila, ia mengguncang-guncang tubuh Arsya, supaya suaminya itu lekas bangun. “Aku ngantuk, Nabila. Sudah, kamu jangan terlalu berlebihan seperti ini. Bayi seumuran Amira memang biasa seperti ini. Kamu jangan membuat aku pusing dengan semua ocehanmu. Sekarang, sebaiknya kamu kompres lagi Amira. Aku mau tidur,” sahut Arsya. Ingin marah, rasanya percuma. Arsya seakan menganggap penyakit yang diderita Amira adalah hal biasa. Nabila pun segera menggendong Amira, kemudian membawanya keluar. Ia akan membawa Amira ke dokter, masalah biaya, ia akan meminjam kepada tetangga. “Kamu yang sabar ya, Nak. Ibu akan membawa kamu ke dokter. Kamu harus kuat,” gumam Nabila, setengah berlari ia terus berjalan ke jalan raya menuju sebuah klinik. Nabila kemudian menyetop angkutan kota, untuk mempersingkat waktu. Sementara Amira tidak hentinya menangis. Sesampainya di depan klinik, Nabila turun tergesa-gesa dari mobil. Beruntung Amira mulai tenang dan tidak menangis lagi, bahkan kini Amira tertidur begitu nyenyak. “Alhamdulillah … kamu sudah tenang, Sayang. Sebentar lagi kamu akan sembuh. Kita ketemu bu dokter dulu di dalam, ya!” gumam Nabila mengajak bicara bayinya itu. “Bu, apakah demamnya sudah lama?” tanya dokter yang menangani Amira. Dokter itu tengah memeriksa detak jantung Amira. “Dari tadi pagi, Dok. Dia rewel terus dan suhu tubuhnya sangat panas. Tolong anak saya, Dok. Tolong sembuhkan anak saya,” jawab Nabila. Dokter wanita muda berhijab abu-abu itu tampak menghembuskan napas kasar. Kemudian menepuk pelan bahu Nabila. Membuat Nabila bingung dengan sikap dokter itu. “Ibu yang sabar, ya. Anak Ibu sudah berpulang,” ucap dokter. Nabila menautkan kedua alisnya, tidak mengerti dengan ucapan dokter barusan. “Ma-maksud Dokter apa? Anak saya tidak apa-apa kan, Dok? Dia hanya demam biasa, kan, dan dia bisa sembuh?” tanya Nabila. Sayangnya dokter itu menggelengkan kepalanya. Membuat Nabila terhenyak, wajahnya menyiratkan tidak percaya. “Mohon maaf, Bu. Anak Ibu tidak selamat. Anak Ibu telat mendapat penanganan,” jawab dokter. Deg! Dunia Nabila seakan berhenti. Nabila menggelengkan kepalanya. Ia kemudian menatap wajah putrinya yang sudah tidak bernapas lagi. Perlahan, matanya mulai berkaca-kaca, kemudian luruh membasahi pipinya. “Tidak, tidak mungkin anak saya meninggal, Dok. Anak saya masih hidup. Katakan, anak saya masih hidup kan, Dok? Dia masih bernapas, kan?” Nabila memeluk tubuh Amira dengan tangisan pecah memenuhi ruangan. Ditatap wajah putrinya, wajah yang tidak berdosa itu harus kehilangan nyawa secepat itu. Seketika ia teringat akan suami, mertua dan iparnya. Tangannya refleks mengepal kuat. Merasa sudah tidak ada harapan lagi, Nabila memutuskan untuk pulang sambil kembali menggendong anaknya. Kini, dunia Nabila seakan berhenti berputar. Semua harapan hancur saat anaknya dinyatakan meninggal dunia. “Tega kalian semua, anakku mati gara-gara kalian!” gumam Nabila, sambil terus berjalan dengan air mata yang terus mengalir tak mau berhenti. Nabila menjadi pusat perhatian orang-orang saat ia berjalan. Hingga ia memutuskan menaiki ojek. Sampai di depan rumah, Nabila turun dan kembali berjalan hendak masuk. Tampak banyak sandal yang berada di depan teras, membuat Nabila heran ada apa di rumah mertuanya itu?“Apa?!”Semua orang terkejut mendengar ucapan Ello yang tiba-tiba membatalkan pernikahannya.Nabila menatap Ello dengan tatapan bingung. Dalam benaknya penuh tanda tanya besar. Kenapa bisa Ello melakukan itu?“Kenapa kamu batalin, Mas?” tanya Nabila.Ello membuka peci hitam dari kepalanya. Ia menghela napas kasar, lantas menoleh ke arah Nabila.“Maafin aku, Nabila. Aku tidak bisa menikahimu,” ucap Ello.Faisal menimpali, “Tapi kenapa, Ello?”Ello menggelengkan kepalanya, lantas mundur dari posisi duduknya. Ia kemudian mendekat ke arah Gala dan Sandi. Kemudian memasangkan peci itu ke kepala Gala.“Kamu yang lebih pantas menikahi Nabila. Kembalilah sama wanita yang kamu cintai. Buat Nabila bahagia, jangan pernah lagi kamu mengulangi kesalahan kamu. Sandi dan Alora sangat membutuhkan kalian.” Ello menepuk bahu Gala, seraya menyunggingkan senyum kecil.Gala tidak bisa berkata-kata, apakah ia sedang bermimpi?“Lu serius?” tanya Gala, yang disambut oleh anggukan kepala Ello.“Ya, aku serius
Beberapa hari kemudian. Di kediaman Nabila, seluruh keluarga Ello hadir untuk mengikuti acara akad nikah Nabila dan juga Ello.Pernikahan itu akan digelar secara sederhana. Tidak ada resepsi sesuai keinginan Nabila. Hanya keluarga inti yang hadir di acara itu.Ello telah bersiap dengan kemeja putih serta peci hitam yang bertengger rapi di kepalanya. Lelaki itu tampak bersemangat untuk melangsungkan akad nikah bersama wanita yang sangat ia inginkan selama ini.“Apakah Nabila sudah siap? Sebentar lagi penghulu akan segera datang,” ujar oma Nira.“Em … Nabila masih ada di kamarnya. Mungkin masih bersiap diri. Biar aku lihat dulu!” sahut Ello.Ello pun beranjak dari duduknya. Gegas ia pergi ke kamar Nabila. Sampai di depan pintu kamarnya, Ello melihat pintu itu sedikit terbuka.Ello membuka pintu itu. Namun, saat kakinya hendak melangkah masuk, ia melihat Sandi sedang menangis di pelukan Nabila.Ello berdiri mematung tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun. Matanya fokus tertuju pada Na
Setelah keadaan Nabila pulih dari demamnya. Ello segera memboyong wanita itu pulang ke rumah. “Terima kasih, Mas!” ucap Nabila, saat Ello membantu membukakan pintu untuknya.Kedatangan Nabila dan Ello pun disambut oleh tangisan Alora yang tidak berkesudahan. Bi Susi kerap kebingungan, entah harus dengan cara apa lagi untuk menenangkan bayi itu.“Alora nangis terus, Bi? Ya ampun … maaf ya, Bi Susi. Aku sudah merepotkan Bibi,” ucap Nabila.“Tidak apa-apa, Mbak Nabila. Namanya juga bayi, pasti selain tidur, dia pasti nangis. Sepertinya Alora mau ASI, em … apakah keadaan Mbak Nabila sudah membaik?” tanya bi Susi.Nabila mengambil Alora dari gendongan bi Susi.“Aku sudah enakan, Bi. Biar saya kasih ASI dulu. Ya ampun … Sayang, maafin Mama, ya. Kamu haus ya, Nak!” seru Nabila.Nabila pun masuk ke dalam kamarnya, untuk memberikan ASI kepada Alora. Namun, saat Nabila memberikannya, Alora masih saja rewel, susah sekali untuk tenang.Selain memberikan ASI, berapa kali Nabila juga menimang-nima
“Aku mau mama, aku mau mama!”Di kediaman Gala, Sandi menangis di dalam kamarnya sambil berguling-guling. Setiap hari Sandi selalu menanyakan keberadaan ibunya. Setelah Gala memberitahu jika Nabila adalah ibunya, Sandi sangat bahagia. Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung sementara, kini harus pupus saat keputusan Nabila untuk menikah bersama Ello.“Sandi, jangan nangis ya, Nak. Nanti kita ketemu mama. Tapi tidak sekarang, ya! Papa kan ada di sini, Papa nggak akan berangkat kerja. Sandi tidak boleh seperti ini, Sandi kan anak lelaki. Anak lelaki tidak boleh menangis seperti ini,” ujar Gala, mencoba menenangkan Sandi.“Tapi mau mama!” Sandi masih terus menangis.Melihat Sandi yang seperti itu, tentu membuat Gala sangat sedih. Sandi begitu menginginkan Nabila bersamanya. Namun, Gala bingung harus berbuat apa. Nabila telah menutup hatinya.“Bagaimana kalau kita beli mainan. Sandi mau beli mainan apa? Papa pasti beliin buat kamu. Asal Sandi nggak boleh sedih lagi. Kalau Sandi sedih, la
“Ello, kenapa kamu nggak pernah cerita sama Oma, tentang di mana Nabila selama ini? Sekarang dia sudah melahirkan. Oma, papi dan mami kamu sudah tahu dari Gala. Jadi selama ini, kamu yang menyembunyikan Nabila? Kenapa, Ello?” tanya oma Nira tak habis pikir.Ello menghembuskan napas kasar. Ia mengganti channel acara TV beberapa kali, tanpa menikmati satu pun dari acara tersebut.“Oma mau marah? Silahkan, Oma … aku tidak akan melawan. Jika kalian mau menyalahkanku, aku juga sudah siap. Tapi, sebelum itu kalian juga harus ingat, betapa sakitnya Nabila, saat tahu Gala telah menipunya. Bahkan Nabila dengar sendiri, jika Gala bersedia menikahi Bianca. Jadi, apakah aku salah jika membawa Nabila pergi, dan melindunginya di tempat lain? Lagi pula, itu bukan atas dasar niatku. Tapi itu kemauan Nabila sendiri. Aku sih oke-oke saja, karena aku sangat menyayangi Nabila. Asal Oma tahu, aku tidak pernah macam-macam terhadap Nabila. Dari situ, Nabila mulai merasa nyaman denganku. Aku dan Nabila akan
“Apakah kamu tidak memikirkan perasaanku, Nabila? Ello adalah kakak kandungku. Jika kalian menikah, lalu bagaimana dengan aku dan anak-anakku?” gumam Gala, ia memandangi rumah Nabila.Tatapan lurus dengan kedua tangan yang dimasukkan pada saku celana. Gala menatap pilu ke arah rumah Nabila. Terdengar suara tangisan bayi di dalamnya. Membuat hatinya bergejolak ingin sekali masuk ke dalam, dan memeluk putri kecilnya itu. Namun, semua sudah terlambat. Pintu hati Nabila telah tertutup. Jika sudah seperti itu, Gala bisa apa?Cukup lama ia berdiri di seberang jalan depan rumah Nabila. Gala pun memutuskan untuk pergi. Ia berjalan kaki hendak menuju mobilnya. Sengaja ia memarkirkan mobilnya cukup jauh dari rumah Nabila.Sampai di tempat parkir mobilnya. Gala segera masuk, lalu pergi dari tempat itu.“Kalian berdua masih saling mencintai. Aku bisa lihat itu. Lalu, apakah aku harus kembali mengalah dalam hal ini?” gumam Ello.Ello berada di dalam mobilnya. Ia belum benar-benar pergi dari kampun
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen