Aku adalah Arumi. Seorang perempuan yang seharusnya menjalani kehidupan rumah tangga yang normal, hingga suatu hari aku menemukan kenyataan paling mengerikan dalam hidupku: ibuku sendiri, Marlina, menikah dengan suamiku, Davin. Pengkhianatan itu bukan hanya menyayat hati, tapi juga menghancurkan seluruh hidupku. Dalam semalam, aku kehilangan suami, rumah, dan sosok ibu. Lebih parah lagi, ternyata pernikahan mereka bukan hanya soal cinta terlarang, tapi menyimpan skandal korupsi, manipulasi bisnis, dan penyalahgunaan kekuasaan di baliknya. Aku bersumpah akan mengambil kembali harga diriku. Tapi perang yang kuhadapi bukan sekadar tentang cinta dan keluarga. Ini adalah perang psikologis, perang media, dan perang kekuasaan. Dan mereka tidak akan segan menjatuhkanku dengan segala cara. Aku hanyalah perempuan biasa. Tapi ketika harga diriku diinjak, aku bisa berubah jadi mimpi buruk dan terburuk mereka.
Lihat lebih banyakKamar ini terlalu sunyi untuk perempuan yang baru kehilangan anaknya. Bahkan suara detak jam dinding terdengar seperti dentang kematian yang berulang. Aku duduk di sisi ranjang, diam, menatap bantal kecil bermotif awan biru yang kupesan sebulan sebelum bayi itu lahir atau seharusnya lahir.
Tapi dia tidak pernah menangis. Tidak sempat bernapas. Tidak sempat membuka mata. Dan sekarang, tidak ada lagi yang tersisa selain ruang kosong di perutku dan suara-suara hampa di kepala.
Namaku Arumi. Tiga hari lalu, aku kehilangan bayi yang kutunggu selama sembilan bulan. Dan hari ini, aku merasa seperti ikut mati bersamanya.
“Rum, buka pintunya. Ibu datang,” suara Davin dari luar kamar terdengar pelan tapi tegas.
Aku tidak bergerak.
“Dia udah di depan, bawa koper. Katanya mau tinggal sementara nemenin kamu. Aku udah bilang kamu butuh teman.”
Aku mendengar napasnya, Lelah Atau jengkel Atau keduanya, Tapi aku tetap tidak menjawab.
Beberapa detik kemudian, suara kunci diputar dan daun pintu terbuka. Cahaya dari lorong masuk pelan, memperlihatkan bayangan dua orang: Davin, suamiku, dan seorang wanita di belakangnya, ibuku, Marlina.
“Ibu masuk ya,” katanya sambil tersenyum tipis. Matanya menyapu kamar, lalu menatapku penuh rasa iba. Tapi aku tahu betul, kasihan tak selalu datang dari cinta.
“Ibu tahu kamu nggak mau diganggu. Tapi kamu nggak bisa terus begini. Ibu akan bantu urus rumah, masak, temani kamu. Setidaknya sampai kamu bisa berdiri sendiri lagi.”
Aku hanya mengangguk. Tidak ada yang bisa kubantah saat ini. Bahkan tubuhku terlalu berat untuk sekadar berpaling. Ibuku masuk dan mulai membereskan barang-barangnya. Davin pergi tanpa banyak bicara. Ia bahkan tidak mencium keningku seperti dulu. Hanya memberi anggukan dan menutup pintu kamar, Dan sejak saat itu, aku tahu: aku bukan lagi satu-satunya perempuan di rumah ini.
Hari-hari berikutnya berjalan lambat seperti kabut. Ibu mengambil alih dapur, mencuci bajuku, bahkan membersihkan debu di rak buku. Ia sibuk seperti sedang mengisi peran yang kosong. Sementara aku? Masih membusuk dalam ranjang. Menatap langit-langit. Mencoba menerima bahwa perutku kosong dan dada ini tidak akan pernah menyusui siapa pun.
Pada hari keempat, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil air, dan berhenti di ambang pintu. Di sana, kulihat pemandangan yang membuatku diam lebih lama dari seharusnya.
Davin dan Ibu sedang berdiri berdampingan. Tertawa pelan sambil menyiapkan sarapan. Davin bahkan ikut mengiris tomat, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sejak kami menikah.
“Wah, kamu bangun juga,” sapa Ibu ceria.
Davin hanya menoleh dan mengangguk. “Aku buatkan teh ya, Rum.”
Aku duduk. Tidak berkata apa-apa. Hanya menatap tangan mereka yang bergerak Terlalu serasi. Tapi mungkin itu hanya pikiranku yang terlalu sensitif. Orang berkabung memang mudah salah sangka.
Tapi entah kenapa, sejak pagi itu, ada hal-hal kecil yang mulai mencubit hatiku.
Ibu sering menonton film drama di ruang tamu, dan Davin kini duduk di sebelahnya. Padahal ia paling anti drama klise. Mereka tertawa bersama, lalu langsung diam saat aku lewat.
Kadang, aku terbangun tengah malam dan menemukan Davin tidak di sampingku. Saat kutanya keesokan harinya, ia bilang tidur di sofa karena badanku terlalu panas. Aku tidak ingat berkeringat. Tapi aku tidak membantah.
Lalu aku mulai memperhatikan detail yang lain. Aroma tubuh Davin berubah. Bukan parfum biasa yang kami beli bersama, Ini lebih manis, Lebih tajam. Seperti wangi milik perempuan.
Pada malam keenam, aku menemukan Ibu duduk di balkon, berbicara di telepon dengan nada lirih dan senyum di wajahnya. Ketika aku muncul, dia buru-buru menutup panggilan dan berkata, “Teman SMA, nanya kabar.”
Aku mengangguk, walau detak jantungku tidak setuju.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk ke kamar Ibu. Alasanku sederhana: aku kehilangan vitamin yang biasa kusimpan di lemari. Tapi saat membuka tas tangannya yang tergantung di kursi, aku menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana.
Lipstik merah tua, bukan merek murah, dan aku tahu persis itu milik siapa. Aku pernah membelinya untuk Ibu saat ulang tahunnya dua tahun lalu. Tapi sejak saat itu, lipstik itu hilang. Ia bilang kehilangannya di salon.
Dan sekarang benda itu ada di tasnya, terbungkus rapi.
Aku melanjutkan pencarian dan menemukan selembar kertas kecil tersembunyi di saku tas bagian dalam. Sebuah catatan singkat, seperti potongan memo belanja. Tapi di bawahnya, tertulis:
“Aku suka kamu pakai lipstik ini. D”
Tanganku gemetar.
“D.” Davin?
Tidak ada bukti langsung. Tidak ada nama lengkap. Tapi dugaanku mulai menemukan tulangnya. Dan itu menambah rasa sakit setelah kenyataan kehilangan anak.
Malam itu aku tak bisa tidur. Aku hanya duduk di kursi dekat jendela, mendengarkan suara kipas angin dan langkah kaki samar di lantai bawah.
Jam tiga dini hari, aku mendengar pintu dapur terbuka. Pelan. Tidak tergesa. Langkah seseorang berjalan melewati lorong. Aku menajamkan telinga.
Langkah itu terdengar bukan hanya satu kali.
Dan mereka tidak saling bicara. Hanya diam, berjalan bersamaan.
Beberapa menit kemudian, sunyi kembali.
Aku memejamkan mata.
Dan untuk pertama kalinya, aku tahu pasti:
Ada yang tidak beres di rumah ini.
“Aku sudah kehilangan anakku. Tapi jika dugaanku benar, kali ini aku akan kehilangan segalanya dan aku tidak akan diam saja.”
Apakah aku sudah gila? Atau aku sudah kehilangan kesadaranku? Karena Aku mulai bicara pada benda mati. Kursi yang selalu kosong di meja makan. Jendela kamar yang memantulkan wajahku. Sendok yang kulempar ke wastafel dengan terlalu keras, berharap ada yang bertanya kenapa. Tapi tak ada, Bahkan suara gemericik air pun terdengar lebih nyata daripada suamiku sendiri. Mungkin bukan aku yang sudah gila, tapi mungkin psikologisku yang sedang dipermainkan.Hari ini, Marlina dan Davin semakin nyaman di rumah ini, seolah-olah merekalah pasangan suami istri yang sah. Mereka tertawa di dapur, bercakap di ruang tengah, duduk terlalu dekat saat menonton TV. Tapi begitu aku muncul, semuanya diam. Seolah aku perusuh dalam rumahku sendiri, seolah olah akulah yang menumpang di rumah ini.Suatu malam, aku terbangun karena haus. Saat menuruni tangga, aku melihat lampu dapur masih menyala. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, kudengar bisikan-bisikan, Suara Davin dan suara Marlina begitu samar ku dengar
Sejak hari itu, aku berhenti membedakan pagi dan malam. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bangun karena cahaya matahari, atau tidur karena rasa lelah. Di rumah ini, waktu tidak lagi berarti. Yang tersisa hanya jeda di antara satu luka dan luka yang lainnya.Davin dan Marlina semakin pandai mengatur segalanya. Mereka tidak menyembunyikan hubungan mereka dengan cara bersembunyi, mereka menyembunyikannya dengan membuatku tampak gila, sehingga tidak ada yang percaya apa pun yang kulihat atau kudengar. Dan perlahan, aku mulai mempertanyakan diriku sendiri.Setiap pagi, aku turun ke dapur dan mendapati meja makan hanya memiliki dua piring, Dua gelas dan Dua sendok. Aku tidak pernah tahu apakah itu disengaja atau karena mereka benar-benar sudah tidak menganggapku bagian dari rumah ini.Aku coba membuat kopi sendiri, tapi gula tidak ada di tempatnya, Air galon mendadak habis, Sendok kecil entah di mana. Semua terasa seperti teka teki dan aku adalah orang asing yang berusaha membaca bahas
Namun sangat disayangkan kebenaran dan keadialan yang ku tunggu tunggu, Tapi hari itu belum datang. Yang datang justru hari-hari penuh kehampaan, di mana aku sadar, sedikit demi sedikit, aku sedang dihapus dari hidup mereka dan dari lingkungan sosialku.Pagi itu, saat turun ke dapur, aku mendapati meja makan sudah terisi penuh. Roti panggang, telur dadar, potongan buah segar, dua cangkir kopi semuanya tampak rapi dan hangat. Tapi tak ada satupun yang untukku. Mereka seakan akan sedang menghilangkan keberadaanku di rumah ini.Marlina sedang menyusun piring, sementara Davin duduk di meja, menggulir layar ponsel.“bu belum sarapan?” tanyaku pelan.Marlina menoleh sekilas. “Oh... aku kira kamu masih tidur.”“Biasanya aku turun jam segini.”Davin mengangkat cangkir kopinya, menyesap, dan hanya menjawab, “Kami kira kamu lagi nggak mau makan bareng.” Aku diam, Tidak ada satu pun kursi yang ditarik untukk, Tidak ada piring tambahan.Aku tidak diusir, tapi perlahan ditiadakan.Beberapa hari ke
Itu pikiranku malam itu, Tapi ternyata, aku terlalu percaya diri. Terlalu yakin bahwa aku masih mengendalikan semuanya. Ternyata, mereka tidak hanya bereaksi, Mereka membalas, Bukan dengan teriakan atau perdebatan, tapi dengan hal yang lebih licik yaitu membentuk opini. Dan opini itu lebih mematikan daripada peluru.Malam itu, aku menyendiri di kamar lantai atas. Tapi kali ini, tidak sebagai pengamat, bukan sebagai pemilik rencana, Tapi sebagai perempuan yang baru saja kehilangan kendali.Keesok Paginya , setelah sarapan, aku menemukan amplop putih di depan pagar. Tidak tertulis nama, hanya satu baris singkat:“Berhenti. Atau kami akan buatmu percaya bahwa kamu memang gila.”Tanganku menggenggam kertas itu begitu kuat hingga kusut, Aku menatap sekeliling. Jalanan sepi, Tidak ada orang di luar, Hening, Tapi rasanya semua mata tertuju padaku dari balik jendela. Saat aku masuk, Marlina sedang menyapu ruang tamu. Ia melirikku sekilas, lalu tersenyum kecil.“Kamu keluar pagi-pagi? Udara ma
Permainan ini memang sudah tak seimbang sejak awal. Mereka pikir aku hanya istri yang rapuh, Anak yang kehilangan arah, Perempuan yang sedang belajar menerima kenyataan bahwa anaknya meninggal dan suaminya menjauh.Tapi mereka lupa satu hal: tidak ada perempuan yang lebih berbahaya daripada perempuan yang tidak punya lagi rasa kehilangan. Dan sekarang, aku bukan lagi Arumi yang menunggu keadilan.Aku adalah Arumi yang sedang mengarahkan mereka ke hukuman.Aku sengaja membiarkan folder itu di laptop Davin. Tidak dikunci betulan. Tapi cukup merepotkan untuk dibuka oleh orang awam. Dan seperti kuduga, dia pasti mencobanya.Dia pasti menghabiskan malamnya dengan rasa tidak tenang, membayangkan isi folder yang mungkin berisi rekaman, bukti, atau pengakuan. Padahal, isinya hanya satu dokumen Word: kosong, hanya satu kalimat di tengah halaman.“Kamu tidur di mana malam ini?”Tidak lebih. Tapi cukup untuk membuatnya gemetar. Karena aku tahu dia tidur bukan di sampingku. Dan aku tahu dia tahu
POV DAVIN.Entah sudah berapa lama hubunganku dengan marlina belangsung. Sampai-sampai aku lupa bahwa Arumi bukan lagi perempuan rapuh yang hanya menangis dalam diam. Tapi Marlina selalu tahu cara membuatku lupa segalanya.Pagi itu, saat kami duduk di meja makan, cangkir tehnya tergeletak seperti biasa. Tapi ada sesuatu di dasar gelasnya, Bukan daun the, Bukan ampas kopi, tapi Kertas kecil, terlipat rapi. Bukan tulisan mesin, itu tulisan Tangan Arumi. Marlina membacanya lebih dulu, lalu diam.Aku mengambil kertas itu dan membaca cepat.Tidak ada nama, Tidak ada ancaman langsung, Tapi nadanya tajam, Tegas. Seolah Arumi tahu. Atau setidaknya, curiga."Apa maksudnya ini?" bisikku.Marlina menyambar kertasnya kembali, merobek menjadi dua, lalu empat, lalu delapan bagian. Dimasukkannya ke dalam saku celemeknya."Dia ngetes. Tapi dia belum tahu apa-apa. Jangan panik." Tapi aku tidak bisa tenang hari itu.Malamnya, aku mengetuk pintu kamar tamu seperti biasa. Marlina membukakan pintu sambil
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen