Tubuh Binar terasa remuk redam kala terbangun di siang harinya. Ia hanya diam berbaring untuk meredakan bagian inti tubuhnya yang masih nyeri.
Binar menyadari rambutnya sedikit lembab, tubuhnya juga telah dibalut piyama kebesaran. "Apakah Dante yang melakukannya?" tanyanya skeptis. Binar melirik noda merah pada seprai yang teronggok di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Ia telah menyerahkannya. Tangan Binar mengepal, merasakan denyut menyakitkan di dadanya. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri karena ini adalah pilihannya. Ia yang memberikan akses kepada Dante untuk mengambil semuanya hanya karena sentuhan kecil. Suara pintu kamar mandi yang terbuka menarik atensi Binar. Ia melihat Dante keluar dari sana sambil mengenakan kausnya, memperlihatkan perut sixpack dan beberapa bekas luka di sana. Binar menggigit bibirnya berusaha bangun melawan nyeri yang makin terasa, tapi tubuhnya tak bisa diajak bekerjasama. Dante dengan tenang menghampiri Binar. Membaringkannya kembali dan menyelimutinya. "Beristirahatlah." Binar menahan napas saat jemari itu menyusuri pipinya. Menciptakan gelenyar aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Dante pelan, memperhatikan betapa cantiknya Binar ketika tengah bersemu. Binar mengalihkan pandangannya segera. "Bukan apa-apa." Dante hanya memperhatikan dan tak menanggapinya lebih jauh. Ia bangkit berdiri dan mengecup kening Binar agak lama. "Aku pergi dulu." Tatapan Binar terpaku pada Dante hingga tubuh tingginya menghilang di balik pintu. Kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan. "Murahan sekali," keluhnya kala merasakan jantungnya berdebar karena perlakuan Dante. --- Barus saja hendak memejamkan matanya kembali, Binar dikejutkan dengan ketukan di pintu kamar, disusul dengan masuknya Matthias dan dua orang berpakaian formal. Binar memandang Matthias penuh tanya sambil berusaha untuk duduk. "Mereka yang akan menjagamu mulai sekarang," ucap Matthias datar. "Selamat siang, Nyonya. Saya Diana dan dia adalah Adrian," sapanya sopan. Sedangkan laki-laki di belakangnya hanya diam menundukkan kepala. "Dante sudah menunggumu di meja makan. Diana akan membantumu bersiap," ujar Matthias sebelum beranjak pergi. "Saya akan berjaga di luar." Adrian berlalu tanpa memandang Binar sekalipun. "Mari, Nyonya." Binar terdiam, memahami situasi. Ia melirik Diana yang tersenyum ramah. "Apa aku perlu penjagaan seperti ini?" tanyanya pelan. --- Binar terpaku melihat bayangan tubuhnya terpantul dar cermin. memperlihatkan wajahnya yang pucat dan bekas merah kehitaman yang menuhi hampir seluruh tubuhnya. Tak ingin terlarut dalam emosi, Binar segera memakai pakaian yang telah disiapkan Diana. Ia mengumpulkan keberanian sebelum keluar dari kamar. Setibanya di ruang makan, Dante telah menunggunya. Dia duduk tenang di kursi dengan mata yang terus menatap lurus ke arahnya. "Makan lebih banyak." Dante mendorong piring ke arah Binar yang lebih banyak diam. Belum sempat suapan pertama masuk ke mulutnya, suara mendayu seorang wanita terdengar mendekat. Ini membuat Binar menoleh kearah Dante penasaran. Seorang wanita berpakaian merah ketat mendekat dengan senyum menggoda ke arah Dante. Valleria Bianchi "Hai, Dante." Suara manis memikat terdengar menjengkelkan di telinga Binar. Tangan lentiknya menyentuh bahu Dante dengan sensual, mengabaikan Binar yang duduk tepat di depan mereka. Binar meratap melihat Dante bahkan tak menolak sentuhan wanita itu. Apa hubungan keduanya? Dan kenapa ... Binar merasa sakit melihat kedekatan mereka? "Kau tahu... aku bergegas dari Milan saat mendengar kau memilih menikah dengan perempuan tak jelas ini. Aku merindukanmu,kenapa kau mengabaikanku?" tanya Valleria dengan manja. Binar menegang. Matanya memperhatikan tangan wanita itu dengan berani mengelus dada bidang Dante. Namun, ia memilih menunduk dan melanjutkan makan siangnya. Mengabaikan kedua orang yang tengah 'bermesraan' di depannya. Binar seharusnya tak peduli, kan? Tapi kenapa rasanya sakit sekali saat mengetahui Dante bahkan tak menolak sentuhan wanita itu, di depan istrinya?! Atau mungkin, Dante hanya menganggapnya sebagai istri di atas kertas saja? Pria itu memanfaatkannya? Mungkin ini sifat Dante sebenarnya. Seorang cassanova yang menikmati wanita lain menempel padanya setelah apa yang terjadi semalam? "Apa aku cuma mainan untuknya?" tanya Binar dalam hati. "Menjijikkan!" Binar kehilangan nafsu makannya dan beranjak pergi. Namun, suara Dante yang tegas dan dingin membuatnya menoleh sejenak. "Binar. Selesaikan makan mu!" perintahnya tegas dengan sorot mata dingin menembus jantungnya. Binar tak menjawab. Ia melihat wanita itu menyeringai senang sambil terus bergelayut manja di lengan Dante. Membuatnya makin muak. "Aku tak nafsu makan." Mata Binar memandang Dante dengan dingin. "Lagi pula, aku tak terbiasa makan dengan lalat yang terus berdenging di sekitarku," sindirnya keras sebelum benar-benar pergi dari tempat terkutuk itu. Dante menyingkirkan tangan Valeria dari bahunya dengan senyum tipis kepuasan terbit di sudut bibirnya. --- Binar menghempaskan tubuhnya di ranjang dengan napas memburu. Sial! Ia seharusnya tak terpengaruh, tapi kenapa hatinya merasakan sakit melihat Dante tak menolak sentuhan wanita itu? Dante bukanlah Kak Dante-nya yang dulu. Dia hanya orang asing penuh kegilaan yang mengikatnya tanpa perasaan. Tapi kenapa ... rasanya sesak sekali? Dante masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Ekspresinya yang tenang, membuat Binar kesulitan memahaminya. Binar menatap Dante sebal. "Apa yang kau lakukan di sini?" Pria itu tak menjawab, tapi terus mendekat perlahan dan mendorong Binar berbaring. Tanpa aba-aba, Dante menindih tubuhnya dan melabuhkan ciuman dalam. Binar awalnya terpaku, tapi kemudian ia meronta keras. Namun, Dante tak peduli. Pria itu tetap menghisap dan melumat bibir Binar. Melihat ekspresi menggemaskan Binar yang tengah cemburu, justru mengobarkan gairah di dadanya. Binar terengah begitu Dante melepaskan ciumannya. "Kau brengsek! Aku benci padamu!" "Kenapa?" Pertanyaan Dante membuat Binar linglung sejenak. Kenapa katanya? "Kau cemburu?" tanya Dante lagi. Lengkungan senyum samar kembali hadir di wajahnya. Jari telunjuknya menyisir rahang Binar, lalu turun ke leher. Binar hendak menjauh, tapi jemari Dante menahan tengkuknya dan menariknya semakin dekat. Ia bisa melihat sorot gelap dan menuntut dari pria itu. Membuat jantungnya berdebar lebih kencang. "Lepaskan aku." Dante tak menggubris. Bibirnya mendekat, menyentuh pelipis Binar dengan gerakan lambat yang nyaris lembut. "Jangan menghindar," bisiknya. Dante mencium lebih dalam, menuntut, sampai Binar kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan berakhir pasrah tubuhnya kembali dijamah pria itu lagi. Ketika akhirnya Dante melepaskan penyatuannya, Binar mengerang. Tubuhnya yang belum pulih sepenuhnya kembali melemas dan rasa kantuk menyerangnya lebih cepat. Dante menyentuh pipi Binar lembut dengan ibu jarinya. "Aku tak akan membiarkanmu pergi dari sisiku, Binar."Dante baru saja pulang dari rapat panjang bersama para petinggi Daggers Pact yang baru. Ia membuka pintu kamar dan mendapati Binar duduk di ujung ranjang mengenakan kemeja hitam miliknya yang kebesaran.Binar buru-buru menutup buku tua yang sedang ia baca ketika Dante masuk tiba-tiba. Meski terlihat sedikit pucat, Binar tetap menampakkan senyum terbaik untuk menutupi rasa paniknya. Namun, Dante hanya acuh tak acuh, melepas jasnya dan menghampiri Binar. "Kau menungguku?" tanyanya dengan suara rendah. Binar tersenyum kecil, meremas ujung kemeja yang ia pakai. "Kau lama. Aku hampir saja ketiduran," jawabnya mendayu. Dante mendekat dan mencium pelipis Binar, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Binar sempat kaku sepersekian detik sebelum memeluk balik.Namun, mata Binar terlihat kosong, membuang pandangan ke luar jendela. Dante bersandar di kepala ranjang tanpa melepas pelukan mereka, menyadari gelagat Binar yang nampak tak biasa. "Apa yang kau lakukan seharian? kau tidak pergi ke
Di markas Daggers pact, suasana hening. Dante menyandarkan tubuhnya di meja sambil menatap layar CCTV yang tersebar di seluruh markas. Bisa dilihat, Velda tengah duduk santai di pojok, bahkan tersenyum lebar. "Dia tidak takut. Bahkan setelah kita habisi semua kekuatannya," gumam Dante.Matthias menyilangkan tangan dengan kening berkerut. “Malah sekarang terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.”"Senjata rahasia," desis Dante. "Aku yakin Velda punya kartu truf yang membuatnya sangat percaya diri."Matthias membolak-balikan halaman penyidikan tentang Velda, termasuk sang dalang utama "Alder Voss."Matthias menarik berkas hasil penyelidikannya terhadap Velda diam-diam. Dan sebuah nama tebuah nama samar muncul, hanya sekali disebut."Alder Voss."---Di malam hari yang menggigit, Binar justru berkeringat. Ia membaca tiap lembar jurnal yang disimpan ayahnya. Tulisan tangannya mulai memudar, tapi masih tetap bisa dibaca. “...dilarang menyebut nama kerajaan itu. Bahkan di antara kami ya
Sera meletakkan berkas tipis di hadapan Binar dengan helaan nafas panjang. "Kau tak akan menyukai isinya," kata Sera pelan. Setelah bersantai beberapa hari di villa, Dante dan Binar kembali ke mansion. Dante kembali sibuk di markas hingga jarang pulang dan Binar ... diam-diam menyelidiki sesuatu, tanpa sepengetahuan Dante. Binar menoleh, lalu menarik nafas dalam. Kedua matanya terlihat lelah karena banyak beban pikiran yang menghantuinya akhir-akhir ini. Sejak kejadian dengan Velda, Binar semakin sadar untuk tak lagi ingin menjadi pion. Ia ingin bangkit dan mempunyai andil sendiri untuknya ... dan Dante. "Aku tak menyukai banyak hal akhir-akhir ini, tapi aku tak bisa tutup mata untuk masalah yang benar-benar di depan mataku."Tak lagi ragu, Binar membuka berkas itu. Foto-foto tempat yang asing baginya, gudang, jejak logistik, catatan pengiriman bahan kimia ke sebuah kota kecil di ujung Orsaria dengan atas nama V. L. Itu pasti Velda. "Kau yakin, Velda hanya pion di sini?" Sera m
Seperti yang bisa Binar prediksi, sarapan agak siang mereka memang tertunda selama satu jam karena kemesuman Tuan Dante. Binar duduk di atas meja makan dengan baju acak-acakan terengah, bersandar sepenuhnya ke dada bidang Dante yang tak tertutup apapun. "Kau .... " Binar tak sanggup melanjutkan perkataannya. Hanya bisa mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin setelah tragedi kilat menyerang. "Luar biasa," sahut Dante percaya diri. Lengan besarnya melingkupi Binar dengan senyum kepuasan. Tangan Binar bergerak mencubit perut keras Dante. Merasa kalimatnya terasa menyebalkan. Setelah memulihkan diri, Binar akhirnya membersihkan diri dan lanjut memasak. Kali ini, Dante duduk tenang di meja makan dengan secangkir kopi hitam bersanding dengan iPadnya. Matanya menatap lekat istri cantiknya yang tengah bergerak kesana kemari cekatan mengolah masakan. Tak pernah ia sangka, gadis mungil yang dulunya ia jaga dan sayangi akan benar-benar menjadi miliknya. Walau harus menggunakan cara keras d
“Inikah pemimpin Daggers Pact?” ejek Binar pelan dengan suara nyaris seperti bisikan. “Yang katanya berdarah dingin, tanpa ampun, dan brutal?"Dante tertawa pelan, senyum tipis di sudut bibirnya membuatnya makin terlihat menawan. Apalagi dengan wajahnya yang bangun tidur. “Aku memang seperti itu,” ucap Dante pelan. “Dan aku akan melakukannya lagi jika perlu.”Yah, Dante tetaplah Dante. Dia adalah pemimpin Dangers pact yang sudah seharusnya seperti itu untuk menjaga keutuhan dan kejayaan organisasi. “Kalau dipikirkan lagi, kau tidak pernah menyakitiku," ucap Binar, menatap langit-langit dengan pandangan menerawang. Memang tidak. Hanya dulu ... saat Binar terlalu sering memberontak berusaha melepaskan diri. Dante hanya melakukan Dante mendekat, napasnya terasa di pipi Binar. “Kau bukan orang asing, Binar. Kau milikku.”Binar tak mengelak. Dulu, dia akan menggertak, mencaci, bahkan berusaha melarikan diri. Namun sekarang, ketika Dante mengatakan hal itu, yang ada hanyalah rasa aman.
Binar menatap mata Dante lekat, memastikan kalau pria dingin itu benar-benar siap menyerahkan kendali penuh padanya. Hal yang dulunya mustahil terjadi bahkan dalam bayangan sekalipun. Kedua Mata Dante terlihat satu dengan kabut gairah. Berulang kali ia menelan ludah untuk meredakan rasa panas yang membakar di tubuhnya akibat gerakan kecil yang Binar lakukan. Jemari besarnya mengusap pelan garis rahang Binar, mencoba menggoda wanitanya untuk bergerak lebih. "Kau menggemaskan sekali," lirih Binar. Ia mendekatkan wajahnya seolah menantang, tapi matanya tetap bergetar dibawah tatapan Dante yang mendebarkan. "Benarkah?""Uhum." Binar mengangguk. Matanya berkilat sama-sama tertutup nafsu yang menggebu. Tanpa berkata apa-apa, Binar memegang tengkuk Dante dan menariknya ke dalam ciuman. Meski gerakannya terasa amatir, tapi sanggup menjebol pertahanan Dante. Pada akhirnya, tetap Dante lah yang memimpin permainan. Binar memejamkan mata saat lidah Dante masuk dan menginvasi, mengobrak-abr