Dua tahun yang lalu, terjadi pembantaian para prajurit yang bertugas di sebuah pos jaga pedalaman. Komandan pos, putra seorang jenderal, dituduh menjadi pelakunya meskipun ia juga tewas dalam pembantaian itu. Sang jenderal tidak menerima tuduhan itu. Ia menyewa penyelidik swasta tuna rungu, Rimba, untuk menyelidiki kasus tersebut. Penyelidikan membawa Rimba pada Sakti, seorang perwira super yang selalu sukses dalam menjalankan misi. Rimba mencurigai Sakti sebagai pelaku pembantaian sesungguhnya. Demi kelancaran penyelidikan, Rimba mendekati Widya, adik angkat Sakti yang merupakan seorang polwan. Rimba tidak menyadari bahwa Sakti amat terobsesi pada Widya, sehingga kedekatan Rimba dan Widya membuat Sakti curiga dan mengancam Rimba. Belakangan, penyelidikan kasus pembantaian tersebut malah mengungkap berbagai kasus kematian lainnya yang berkaitan dengan Sakti. Menyadari betapa berbahayanya Sakti, Widya dan Rimba pun akhirnya bergabung untuk menghentikan Sakti. Saat Widya lebih memilih Rimba, Sakti murka hingga mengejar mereka. Menggunakan kekuatan super rahasianya yang mengerikan, Sakti lalu menguasai seluruh pasukan militer dan kepolisian di kota. Pasukan tersebut dikerahkan untuk menangkap Rimba dan Widya agar Sakti dapat menghukum Rimba dan memiliki Widya seutuhnya.
Lihat lebih banyakDua puluh delapan tahun yang lalu.
Sambil bersimpuh, Sekar membersihkan mulut Sakti yang kotor oleh cokelat yang dimakan oleh anak itu. Cokelat yang dibelikan oleh Sekar dengan uang yang tersisa di kantong ibu muda itu.
“Lain kali makannya jangan buru-buru ya, Nak. Biar nggak belepotan begini,” nasihat Sekar. Ia memeriksa sekali lagi wajah putra semata wayangnya tersebut, memastikan tidak ada lagi sisa-sisa cokelat di sana.
“Iya, Ma,” jawab Sakti ceria. Jelas sekali dia sedang gembira karena setelah sekian lama, diizinkan menikmati cokelat lagi. Sebab sebelumnya, dia hanya bisa makan cokelat yang dibelikan Daud, mantan bos Sekar.
Sekar menatap putranya lekat-lekat.
“Jadi, sekarang sudah tahu, Sakti harus ngapain tiap hari?” tanya Sekar dengan suara tercekat.
“Ngapain apa, Ma?” tanya Sakti, belum menangkap maksud Sekar. Usianya baru empat tahun. Pertanyaan bermakna tersirat seperti itu masih sulit dipahami olehnya.
“Itu loh, tiap pagi harus gimana,” jawab Sekar memberi petunjuk.
“Oh, ingat!” seru Sakti. “Bangun tidur, bantal taruh di ujung tempat tidur. Kalau mandi jangan lupa sikat gigi, sabunin badan dan muka. Terus, kalau makan tidak boleh sambil ngomong apalagi berisik. Uhm, apa lagi ya …. Oh, nggak boleh pelit sama teman! Nurut kata Bunda, terus ….”
Kedua mata Sakti mengarah ke atas, bergerak-gerak. Mengingat-ngingat apa yang telah ibunya ajarkan selama mereka berdua tinggal di tempat ini.
Sekar tetap menatap putranya. Kali ini dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak lagi mendengarkan perkataan Sakti yang terus berusaha mengulangi apa yang telah Sekar ajarkan padanya.
Hingga pada satu titik, pertahanan Sekar jebol. Ia memeluk erat Sakti hingga anak itu terkejut dan berhenti bersuara.
“Ma? Mama kenapa?” tanya Sakti bingung.
Alih-alih mendapatkan jawaban, pertanyaan Sakti dibalas dengan isak tangis ibunya. Mula-mula terdengar lirih. Hingga menjadi lebih nyaring dan mengundang perhatian seorang wanita lain yang jauh lebih tua daripada Sekar. Seseorang yang dipanggil dengan sebutan Bunda.
“Sekar, ada apa?” tanya Bunda. Tangisan Sekar pasti terdengar hingga ke luar kamar untuk anak-anak di bawah usia tujuh tahun, sehingga Bunda yang sedianya menunggu di luar, akhirnya memutuskan untuk masuk dan melihat keadaan.
Sekar menghentikan tangisnya dan menghapus air matanya. Ia hanya menatap Bunda, tidak menjawab sama sekali. Namun raut wajahnya menunjukkan ketidakrelaan.
Bunda tampak mengerti dan berkata, “belum terlambat untuk mengubah keputusanmu.”
Sekar menggeleng lemah dan akhirnya membalas, “tapi, hanya panti asuhan ini yang mau menerima Sakti dengan tangan terbuka. Selebihnya ….”
Sekar terisak lagi. Ia tidak mampu membesarkan Sakti dalam keadaan dirinya yang sekarang ini. Setelah ditinggalkan oleh ayah Sakti, Sekar sendirian dan tidak bisa menghadapi Sakti yang terus berkembang. Menitipkan Sakti pada panti asuhan menjadi jalan yang Sekar pilih.
Bunda menghela napas berat.
“Kalau begitu, sudah waktunya. Setelah hatimu mantap memilih jalan ini, jangan menengok lagi,” kata kepala panti asuhan tersebut, yang disambut dengan anggukan Sekar.
Sakti memandang ibunya dan Bunda bergantian. Kebingungan. Ia jelas tidak memahami percakapan di depannya. Anak laki-laki itu hendak bertanya, namun Bunda sudah menggendongnya.
“Kita antar Mama, yuk,” kata Bunda lembut.
Sakti menyahut, “antar? Memangnya Mama mau ke mana?”
Tidak ada yang menjawab. Sekar membiarkan Bunda menggendong putranya. Mengikuti kepala panti asuhan tersebut menuju ke halaman depan sambil sesekali mencium wajah Sakti yang air mukanya mulai berubah.
Kebingungan Sakti berubah menjadi kecurigaan saat ia menyadari bahwa ibunya tengah membawa ransel di punggungnya. Ransel berwarna cokelat yang warnanya sudah memudar. Ransel yang dipakai untuk menyimpan pakaian Sakti dan ibunya saat mereka pertama kali tiba di panti asuhan ini ….
“Mama?! Mama mau ke mana? Ikut!” teriak Sakti pa nik.
Tangan Sakti menggapai-gapai, hendak meraih ibunya. Namun, Sekar menjauh. Dengan berurai air mata, ia menatap Sakti yang memberontak dalam gendongan Bunda.
Bunda sendiri hanya diam. Tidak membujuk Sakti, apalagi menurunkan anak itu dari gendongannya. Ia menatap Sekar, mengisyaratkan agar Sekar mengambil keputusan sekarang. Tetap tinggal di sini, atau pergi tanpa membawa Sakti.
Sekar memilih yang kedua.
“Maafkan Mama, Nak,” ucap Sekar dengan suara parau. Ia berbalik, lalu meninggalkan halaman panti asuhan dengan langkah tergesa. Tak menghiraukan panggilan Sakti yang kini menangis.
Bunda pun masih diam. Membiarkan Sakti melepaskan emosinya yang melihat ibunya menjauh. Permintaan Sakti untuk mengikuti ibunya, diabaikan sepenuhnya. Sakti tetap terjebak dalam gendongan wanita bertubuh tinggi besar itu. Sementara Sekar kini telah tiba di tepi jalan, hendak menyeberang.
Sakti yang frustrasi karena diabaikan, akhirnya mengucapkan kata-kata yang membuat Bunda terkejut. Ia pun segera menegur anak itu, menasihati agar tidak berbicara sembarangan.
Sementara itu, Sekar sudah menginjak aspal jalan. Jalanan itu sendiri adalah jalan yang sepi, sehingga terbilang aman bagi anak-anak penghuni panti asuhan seandainya mereka berada di luar. Sepanjang hari, jumlah kendaraan yang melintas bisa dihitung dengan jari, karena daerah itu memang sunyi.
Namun, saat itu ada yang berbeda. Sesaat setelah Sekar tiba di tengah jalan, deru mesin mobil yang melaju kencang, terdengar dari arah kiri. Sekar menoleh dan melihat sebuah minibus mendekat dengan pengemudi yang berwajah pa nik karena tak bisa mengendalikan kecepatan mobilnya.
Sekar mencoba berlari untuk menghindar. Namun entah mengapa, ia justru hanya bisa mematung di tempatnya.
Terdengar bunyi mobil menabrak, diikuti dengan decit ban yang tengah dihentikan. Bunyi tubuh yang terhempas di aspal pun mengakhiri rangkaian insiden yang mengerikan itu.
Dari balik pagar besi panti asuhan, Bunda terperangah menyaksikan kejadian yang tidak terduga itu. Ia membeku sesaat, sebelum akhirnya bisa menurunkan Sakti dan bergegas menghampiri Sekar sambil berteriak-teriak mengundang perhatian orang-orang di panti asuhan dan para tetangga.
Sementara itu, Sakti masih terdiam tanpa berkedip. Memandang sosok ibunya yang kini tergeletak di aspal.
Rinto menoleh pada Widya dan Sarah. Dengan gerakan kepala, ia mengisyaratkan agar para wanita itu mendekat padanya. Kemudian, dengan tenang ia melangkah mundur, menghampiri Rimba yang baru saja menutup bagasi mobil milik Rinto.“Bawa pergi Widya dan Sarah dari sini. Gunakan mobil yang banyak senjatanya itu. Kalian akan memerlukannya,” perintah Rinto lirih, berharap alat bantu dengar Rimba berfungsi dengan baik.Rimba mengangguk dengan pandangan yang mengarah pada enam orang polisi yang baru tiba di lokasi. Jelas dia juga sudah menyadari keanehan bala bantuan yang datang tersebut.Rinto kemudian beralih pada Widya dan Sarah yang telah mendekat. Ia kembali menggerakkan kepala ke arah Rimba yang telah berada di dekat pintu mobil para penguntit yang mereka tawan. Widya dan Sarah tercekat, tampaknya mengerti bahwa Rinto akan mengorbankan diri untuk menyelamatkan mereka.Kemudian, Rinto menghampiri salah seorang anggota polisi dan menyalaminya. Seme
Rinto menangkap orang kedua, lalu membantingnya dengan keras hingga pistolnya terlepas dari tangan. Sedangkan Rimba yang bertugas menangani orang ketiga, melakukan gerakan favoritnya: membekap lalu menarik korbannya hingga terbanting ke belakang.Orang kedua dan orang ketiga tersebut bangkit dengan cepat untuk melawan. Tak seperti rekan-rekannya yang sebelumnya dikeroyok oleh Rinto dan Rimba, mereka lebih punya kesempatan untuk melawan karena mereka berhadapan satu lawan satu dengan Rinto dan Rimba.Namun, sebelum orang kedua dan ketiga sempat melayangkan pukulan pada Rinto dan Rimba, mereka tersentak saat mendengar bunyi kunci senjata yang dilepaskan. Mereka melupakan satu orang lagi yang memiliki kemampuan untuk melawan.Saat orang kedua dan ketiga tersebut menoleh ke asal suara, mereka melihat Widya telah berada di sana. Menatap tajam dengan wajah garang. Kedua tangannya mengarahkan pistol milik orang pertama dan keempat—yang dirampas oleh Rinto dan Rim
Setelah berusaha lebih keras hingga nyaris di ambang frustrasi, Widya akhirnya dapat mengeluarkan mobilnya dari parkiran yang penuh dan menyebalkan. Menyebalkan karena tidak ada seorang pun yang memandu Widya. Entah ke mana petugas yang ditunjuk untuk membantu tamu memarkir mobilnya itu.Namun, cobaan untuk Widya dan Sarah ternyata tidak berakhir sampai di situ. Saat mobil menuju pintu keluar, sebuah mobil lain tiba-tiba mengadang mobil mereka hingga Widya terpaksa menginjak rem. Widya terkejut dan membelalak saat melihat tiga orang pria turun dan berjalan cepat menuju ke mobil mereka. Tidak perlu ditanyakan lagi, apa tujuan mereka menghampiri Widya dan Sarah.Widya menoleh pada Sarah, memastikan bahwa wanita itu sudah mengenakan sabuk pengaman. Setelah itu, ia kembali tancap gas.Sarah memekik saat mobil yang dikemudikan oleh Sarah, nekad menerobos gerombolan yang menghampiri mobil itu. Seketika ketiga orang itu meloncat ke sisi lain agar tidak ditabrak oleh Wi
Sakti menoleh saat pundaknya ditepuk oleh seseorang, membuyarkan lamunannya tentang keberadaan Widya di acara sang jenderal. Ternyata ajudan Prakasa.“Dipanggil Jenderal ke dalam,” kata ajudan yang merupakan teman seangkatan Sakti di akademi militer itu.Sakti mengangguk, lalu mengikuti ajudan Prakasa hingga tiba di halaman belakang. Prakasa dan istri ternyata telah berada di balik meja yang menyajikan kue bertingkat bertuliskan angka “36”. Kue itulah yang nantinya akan dipotong untuk merayakan hari jadi pernikahan jenderal bintang empat tersebut.“Ah, Sakti! Ke mari, Nak!” seru Prakasa sambil melambai pada Sakti.Sakti sempat tertegun mendengar panggilan ‘Nak’ yang keluar dari mulut sang jenderal. Akrab sekali.Dengan canggung, Sakti mendekat. Keluarga dan kerabat Prakasa berkumpul di sana, termasuk sang keponakan yang tempo hari juga menghadiri acara makan malam di kediaman Prakasa.Sekali la
Rimba turun dari mobil, lalu mendongak untuk membaca papan nama ruko yang ia dan Rinto datangi.“Apa benar, di sini tempat praktik hipnoterapis itu?”Rinto membaca tulisan di ponsel Rimba. Ia mengangguk.“Beliau sering membantu kepolisian mengungkap kasus-kasus yang sulit. Aku baru pertama kali ke sini, tapi aku yakin pada kemampuannya karena rekomendasi teman-temanku. Kita akan berkonsultasi padanya tentang Sakti, juga mengenai apa yang menimpamu.”Rinto lalu mengajak Rimba memasuki ruko tersebut. Namun saat tiba di depan pintu kaca, mendadak keduanya berhenti. Mereka saling berpandangan.“Kau merasakannya juga? Ada yang mengintai kita?” tanya Rinto. Ia tidak mau memandang ke sekelilingnya. Sebab, para pengintai tersebut akan menyadari bahwa pengintaian mereka sudah terbongkar oleh Rinto dan Rimba yang sangat peka dengan keadaan sekelilingnya.Saat itu malam telah menjelang. Di depan ruko tempat
Sebelum Widya dan Sarah berangkat ke acara Jenderal Prakasa, Rinto dan Rimba tidak menyembunyikan kekhawatiran mereka. Sebab, mereka tahu bahwa kemungkinan Sakti juga berada di sana.“Bagaimana kalau dia menghipnotis kalian? Kita tidak seperti Rimba yang tidak mempan kena gendam,” cetus Rinto.Rimba mengangguk. Seperti Rinto, ia juga mencemaskan keselamatan kedua wanita tersebut. Meskipun sempat jatuh sakit usai bertemu Sakti, Rimba tetap satu-satunya orang yang tidak bisa diperintah oleh Sakti.“Lantas aku harus pergi dengan kalian berdua? Entah bagaimana ulah Bang Sakti nantinya kalau melihat kalian berdua di pesta itu,” tukas Widya. “Kita juga harus berhati-hati, jangan sampai Bang Sakti tahu tentang Rimba yang tidak terpengaruh kemampuannya itu.”“Atau, aku saja yang pergi menemui ahli hipnotis itu? Biar Rinto yang menemani Widya. Kalian ‘kan masih suami istri,” celetuk Sarah.“Saat in
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen