Kisah Riyanti yang mengejar mimpi dan berjuang memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Dalam perjalanannya dia harus menjadi wanita yang tangguh, kuliah dan kerja paruh waktu hingga lupa memikirkan kebahagiaannya sendiri. Sampai suatu hari datang seorang laki-laki Alfa Mahendra yang berusaha mendekatinya, namun harus kecewa karena perasaan yang tidak terbalas. Laki-laki yang tak lain adalah seorang dosen di kampusnya. Bagaimana kisah perjuangan Riyanti meraih mimpi dan membuka hatinya untuk sang dosen di kampusnya? Simak yuk ceritanya.
View MorePov Riyanti
Namaku Riyanti sering dipanggil Yanti, tetapi bukan artis Kridayanti lho.
Siang hari, selepas Zuhur aku bersama Amel pergi ke warung nasi rames yang berjarak sekitar 300m tidak jauh dari kos. Kalau ditanya kenapa kami suka membeli makan di situ, jawabnya karena penjualnya sangat ramah. Pemiliknya suka dipanggil Mbok Nem, beliau asli dari Bandung. Entah nama asli atau bukan, tetapi itulah panggilan akrab para pelanggan terbanyaknya yang tak lain adalah anak-anak kos. Aku dan Amel termasuk pelanggan setianya, karena membeli makan di sini tergolong ramah di kantong.
Aku dan Amel kuliah di jurusan matematika di salah satu universitas ternama wilayah Yogyakarta. Kami memang senasib masuk dengan tanpa tes, yakni mengandalkan nilai raport. Alhamdulillah, kami beruntung berasal dari SMA swasta di daerah pelosok, aku dari lereng gunung Sumbing Magelang Jateng dan Amel dari lereng Lawu Jatim. Kami termasuk berprestasi dari sekian gelintir murid yang ada dan mendapat kesempatan kuliah di kota pelajar.
"Mau makan apa hari ini, Ti?" tanya Amel yang sejujurnya nggak perlu dijawab pasti dia sudah tau makanan favoritku saat dompet masih lumayan tebal.
Lama tak kujawab, hanya senyum yang kulontarkan.
"Pasti pindang."
"Tau aja kamu, Mel."
"Kamu kan habis dapat honor privat, haha."
Amel hapal benar denganku yang memilih menu makanan disesuaikan budget. Kalau dompet lagi tebal maka kami pilih menu makanan yang sedikit lebih mewah dan bergizi macam pindang. Saat dompet menipis, kami akan memilih nasi sayur lauk tempe tepung. Beginilah nasib anak kos yang ingin berusaha menjaga status gizi dengan pengeluaran sehemat-hematnya.
"Neng Yanti dan Amel, pindang tinggal satu nih!" seru Mbok Nem, saat kami mendekati lemari kaca tempat menu makan dihidangkan. Warung ini seperti swalayan alias mengambil sendiri-sendiri. Amel yang tahu aku suka sekali dengan pindang segera mengibaskan tangan ke Mbok Nem dan beralih memilih menu lain.
Karena waktu menjelang siang hari, wajar pelanggan warung banyak berdatangan. Aku segera mengambil piring dialasi kertas minyak karena kami terbiasa beli nasi bungkus untuk dimakan di kos.
Aku mengisinya dengan Nasi, oseng kangkung dan terakhir pindang yang sudah menggoda mata. Segera kutusukkan garpu pada pindang yang hanya tersisa satu di wadahnya. Tapi hal tak terduga terjadi, ada satu garpu lagi yang sudah tertancap tepat disisi garpuku.
"Maaf, ini saya dulu yang ambil," ucapku.
"Jelas saya yang menancapkan garpu duluan," katanya tak mau kalah.
Sekilas terdengar suara seorang laki-laki, tetapi aku belum berani menatapnya. Kalau boleh aku ingin egois karena pindang ini membuat selera makanku naik yang berefek moodku bagus. Tentu hal ini akan mendongkrak aktivitas keseharianku yang tak lepas dari kesibukan kuliah, organisasi, serta mengajar privat.
"Ladies first," ucapku yang masih kekeh.
"Budayakan antri, FCFS (first come first served/pertama datang pertama dilayani)," balasnya.
Seketika aku teringat mata kuliah teori antrian. Aku dan Amel yang kini menginjak semester enam harusnya lebih dewasa, bukan seperti anak kecil yang berebut antrian. Eh, tunggu dulu, diakan juga kelihatan seperti bukan mahasiswa baru. Kuberanikan menatap wajahnya.
Duh malunya aku, segera kutolehkan wajahku ke samping tak berani lama-lama menatapnya.
'Kenapa wajahnya harus seadem ini?' gumanku yang segera disenggol Amel.
Sahabatku rupanya ikut malu melihatku berebut sambal pindang yang tinggal satu dengan seorang laki-laki tampan berusia sekitar 26 tahun. Dia mempesona, berkulit kuning rambut lurus disisir rapi. Badannya atletis terlihat dari kaos slim yang dikenakannya, pasti dia rajin berolahraga. Satu kata lagi fix dia tampan, tapi sikapnya tidak mencerminkan fisiknya. Rasa kagumku langsung menguap entah kemana.
"Maaf Mas, ini sambal pindang kesukaan Neng Yanti. Gimana kalau Mas pilih yang lain?"
Aku tersenyum penuh kemenangan mendapati Mbok Nem membelaku, tetapi tidak dengan laki-laki itu. Dia masih menatapku dengan tatapan dingin.
"Mbok lain kali budayakan antri, siapa yang lebih dulu ya dapat duluan," sarannya.
Ada sedikit rasa nyeri di dadaku tepatnya sakit hati kenapa laki-laki ini tak mau mengalah pada perempuan. Teori antrian yang telah kupelajari sudah tidak aku praktekkan karena mengincar sambal pindang. Sudah bisa kupastikan dia tercoret dari list kriteria calon pasanganku meski dia tampan. Mungkin aku kepedean mengklaimnya di list calon pasanganku. Akhirnya dia mengalah dan membiarkanku tersenyum bahagia sementara dia menggerutu.
"Ti, kamu kenapa ngotot sih. Malu-maluin tahu," bisik Amel padaku.
"Nggak tau juga, Mel. Aku cuma mau menunjukkan ladies first. Apa dia masuk golongan yang menggaungkan slogan itu, ternyata enggak. Amel hanya menggelengkan kepalanya. Akhirnya kesampaian juga aku makan siang dengan sambal pindang setelah berdebat dengan laki-laki yang asing bagi Aku dan Amel, karena dia baru kali ini terlihat di warung Mbok Nem.
"Hey, jangan makan sambil senyum-senyum sendiri! Mbayangin laki-laki yang tadi, huh?"
Aku hanya tersenyum simpul.
"Sebenarnya aku malu, Mel. Aku berharap kita nggak akan ketemu lagi sama orang itu."
"Ya mana kita tahu. Barangkali dia satu kampus dengan kita, hayo?"
"Ah, jangan nakut-nakuti aku, Mel."
Seketika Aku merasa takut dan bersalah pada laki-laki itu. Takut kalau benar adanya kami akan ketemu di kampus yang sama dan bersalah telah merebut pindang karena jelas dia yang menusuk garpunya duluan.
'Oh tidak, aku tidak mau pusing memikirkanmya. Banyak yang harus aku pikirkan dari pada mikirin laki-laki itu.'
Aku harus memikirkan kuliah, menjabat sekretaris diorganisasi, dan mengajar privat beberapa murid. Terkadang ada juga job ngajar kelas di luar kota saat akhir pekan, tapi hanya tertentu saja.
Semua kulakukan demi mengembalikan senyum Bapak dan Ibu yang sudah tujuh tahun sirna bersamaan dengan bangkrutnya bisnis Bapak.
---
Pagi-pagi sekali aku sudah berdandan dengan tunik motif floral sepanjang lutut dan celana hitam serta jilbab marun senada baju. Tak lupa kupoles tipis bedak tabur dan lipstik harga murah untuk melembabkan bibir yang kering karena sering terpapar sinar mentari. Sementara itu, Amel lebih pintar berdandan. Dia lebih tahu fashion yang modis, tetapi masih sopan. Dia sama berhijabnya denganku.
Kami sudah sampai di ruang kuliah setelah berjalan dari kos. Kami masih sedikit terengah-engah saat duduk karena ruangnya di lantai tiga gedung C. Kali ini kami ada jadwal kuliah analisis riil.
Tiba-tiba ada tepukan di bahuku dari Amel, yang mengisyaratkan aku untuk melihat arah pintu.
‘Astaghfirullah, doaku ternyata tidak terkabul.’
Pagi ini ada mahasiswa baru muncul secara tiba-tiba di kelas kami. Ternyata tebakanku salah, dia duduk di kursi dosen.
"Astaga, dia laki-laki kemarin, bukan?" ucap Amel berbisik di telingaku. Aku hanya terbengong dan menyambar buku yang dipegang Putri sahabatku, juga Amel untuk menutupi wajahku.
'Ya Rabb, dari sekian banyak orang kenapa harus ketemu laki-laki itu di sini. Ingin rasanya kutenggelamkan saja wajahku di bantal kamar kosku.'
“Mbak, yang pakai baju bunga-bunga!” serunya yang masih terdengar ditelingaku.
Deg!
Jantungku berdetak tak karuan karena merasa dia memanggilku.
Bab 63C "Terima kasih, Sayang. Sudah bersedia mendampingiku, menjadi ibu dari anak-anakku." Aryo mengecup puncak kepala Nay yang tertutup pasmina hingga membuat hati Nayla mengembang. "Terima kasih juga, Mas." Lima bulan kemudian. Nay mengenakan baju toga untuk menghadiri wisuda sarajananya. Perutnya sudah terlihat membuncit karena HPL tinggal beberapa haru lagi. Suami dan keluarganya mendampingi acara wisudanya. Pun teman-temannya bersiap dengan buket bunga ditangan mereka. "Selamat dan sukses atas wisudanya, Nay," ucap ketiga sahabatnya. Menyusul juga ucapan selamat dari orang tua dan keluarga Aryo. "Selamat ya, Sayang. Maafkan mama! Kamu memang pantas menjadi pendamping Aryo. Jaga putraku ya, Sayang. Sebagai orang tuanya, mama memang kurang memberinya kasih sayang." "Tidak, Ma. Mama selalu menyayangi Mas Aryo meski jauh di negeri orang. Nay dan Mas Aryo selalu merindukan mama dan papa." Nay mencium pipi mertuanya lalu teringat ibunya. Wanita yang sudah mengandung dan melah
Bab 63B"Mereka kan mau menghadiri acara ini, Mas.""Apa?! Sebenarnya ini acara apa sih, Nay?" Aryo bergantian menatap Nay juga keluarganya yang tak ada angin tak ada hujan muncul di rumah istrinya."Hai, Aryo! Oma mau nengok calon buyut tahu, nggak? Kamu tuh malah bengong."Aryo kembali terkesiap. Merasa di prank, Aryo mendekati keluarganya. "Mama, papa, kapan pulangnya? Tante juga katanya nganter oma ke luar kota.""Kamu tuh, Yo. Sama istri mbok ya dijagain yang baik. Untung calon bayinya nggak kenapa-napa. Bisa-bisa kamu tak jewer sini.""Ampun, Oma." "Iya, ini tante sama orang tuamu nganter oma ke luar kota buat mengisi tausiyah, Yo," pungkas tante Maya. Aryo masih terbengong.Semua yang hadir melihat tingkah keluarga Aryo akhirnya tertawa, ada juga yang menahan senyum, seperti Nayla yang saling pandang dengan Andra. Semua itu skenario Andra untuk mengerjai Aryo. Andra tidak mau Nay disakiti oleh suaminya. Saat di Daejeon, dokter mengatakan Nay hampir keguguran karena tindakan
Bab 63A"Nay, ini tanda kasihku untukmu." Nay tertegun melihat apa yang dibawa suaminya.Aryo membuka kotak kecil berlapis beludru. Ia mengeluarkan benda yang terpasang cantik di tempatnya. Sebuah kalung pertanda kasih sayangnya untuk sang istri tercinta. Ada liontin bunga matahari di kalung itu. Aryo berharap mentari akan selalu bersinar menerangi langkah mereka mengarungi biduk rumah tangga.Bukan tidak mungkin akan datang kerikil yang menghadang. Sebisa mungkin mereka saling menggenggam tangan untuk melalui jalan yang harus ditempuh. Apa yang menjadi tujuannya menggapai keluarga yang samawa (sakinah, mawaddah, warahmah).Aryo memakaikan kalung dengan liontin matahari ke leher Nayla. Pasmina Nay angkat hingga kalung itu terpasang sempurna di lehernya. Aryo mengecup kepala Nay dari belakang. Rasa yang membuncah mengisi rongga dada keduanya. Senyum manis pun terukir di wajah masing-masing, hingga sepasang lengan kekar Aryo melingkar di perut Nayla. Tatapan hangat di wajah Aryo terli
Bab 62B"Sudah saya bilang Pak Aryo jangan menyakitinya. Dua kali Bapak sakiti Nay, maka...""No, big No, Ndra. Saya harus bicara sama Nayla. Pokoknya kamu nggak boleh melamar sebelum hubungan kami jelas, oke!" Andra hanya mengedikkan bahu, dalam hati tertawa penuh kemenangan.Aryo meninggalkan Andra membereskan tempat yang akan dipakai untuk acara. Entah acara apa sebenarnya Aryo tidaklah tahu. Ia mendekati Pak Rusdi, meminta maaf atas kesalahannya karena membuat Nay sakit hati.Aryo juga bercerita tentang kesalah pahamannya dengan Nay yang melihat dirinya bersama Tika. Waktu itu Tika ingin berpamitan yang terakhir karena mau tinggal di luar negeri. Pak Rusdi yang sudah tahu duduk perkaranya langsung menyilakan Aryo masuk dan duduk di ruang tamu. Bu Ranti terkejut melihat kedatangan tiba-tiba menantunya. Gegas wanita paruh baya itu membuatkan minuman dan menyuguhkan cemilan."Nay baru selesai mandi, Nak. Tunggulah sebentar. Tolong sabar ya Nak Aryo, menghadapi Nay yang anak tunggal
Bab 62AAryo berjalan tergopoh menuju rumah Nay. Mendengar obrolan tetangga Nay tentang acara syukuran membuat hatinya berkecamuk. Menyesakkan."Apa maunya Nayla? Apa dia benar-benar menginginkan perpisahan?" Aryo mendengkus kesal seraya kakinya menendang kerikil di jalan.Sementara itu,di kamar, Nayla merapikan penampilannya di depan cermin. Ingatannya terlempar saat tidur siang di kos Cika. Bisa-bisanya ia mimpi buruk."Nay, maaf. Aku tidak tega membuat Tika sedih," ungkap Aryo membuat Nay mencelos."Lalu?" Tatapan nyalang Nay tujukan pada suaminya. Napasnya memburu menanti perkataan selanjutnya dari sang suami."Ada yang ingin aku katakan padamu. Mama memintaku menikahinya. Tika bersedia menjadi istri kedua.""Untung hanya mimpi. Kalau beneran, aku nggak yakin bisa menerima kabar itu."Nay menghela napas panjang, seulas senyum tersungging di bibir bergincu pinknya. Kedua tangan mengusap perutnya lembut. Sebuah ketukan pintu megusik kegiatan asyiknya di depan cermin."Masuk!" Nay me
BAB 61B"Astaghfirullah. Aryo kenapa?""Aryo bersalah, Oma. Aryo sudah menyakiti hati Nayla. Dia pergi karena Aryo yang nggak sabaran. Saat di Daejeon Aryo menyakitinya fisik juga batin. Lagi-lagi pulangnya pun Aryo menambah lukanya kembali menganga."Oma dan Tante Maya tertegun melihat pengakuan Aryo. Keduanya menasehati Aryo supaya lebih sabar menghadapi masalah. Yang telah berlalu biarlah berlalu, jangan terulang lagi kesalahan yang sama. Manusia tidak ada yang sempurna. Memilih pasangan bukan untuk mencari yang sempurna tetapi yang bisa saling melengkapi hingga mendekati sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Rabbnya."Makasih, Oma, tante. Aryo mau bernagkat dulu ke Solo.""Apapun yang terjadi jadikan ini belajaran berharga untukmu dan Nayla, Yo. Oma tidak berharap kalian berpisah. Tetapi kalau mengharuskan kalian berpisah, kamu harus mengikhlaskannya.""Oma, Aryo tidak akan membiarkan Nay pergi. Oma dan tante doakan hubungan kami membaik!" pinta Aryo dengan penuh permohonan."
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments